Masih Relevankah Mempertentangkan Islam dan Nasionalisme?

*Oleh: Taufani, MA. Belakangan ini masyarakat kita mengalami polarisasi yang cukup kuat. Ada kesan yang muncul bahwa mereka yang pro Jokowi merasa lebih nasionalis dibandingkan yang anti Jokowi. Sebaliknya yang anti Jokowi merasa lebih islami dibandingkan yang pro Jokowi. Dalam babak sejarah perpolitikan di Indonesia, bisa dikatakan era Jokowi adalah era di mana polarisasi di…

By.

min read

*Oleh: Taufani, MA.

Belakangan ini masyarakat kita mengalami polarisasi yang cukup kuat. Ada kesan yang muncul bahwa mereka yang pro Jokowi merasa lebih nasionalis dibandingkan yang anti Jokowi. Sebaliknya yang anti Jokowi merasa lebih islami dibandingkan yang pro Jokowi.

Dalam babak sejarah perpolitikan di Indonesia, bisa dikatakan era Jokowi adalah era di mana polarisasi di masyarakat menjadi cukup kuat. Di masa kampanye, polarisasi antar pendukung capres baik Jokowi maupun Prabowo sudah sangat tampak dan itu terus berlangsung pasca terpilihnya Jokowi sebagai Presiden di tahun 2014. Polarisasi tersebut kembali berlanjut di media sosial dan juga pada pilkada Jakarta. Jokowi kemudian diserang oleh para hatersnya dengan berbagai tuduhan seperti antek Cina dan komunis, pendukung penista agama (Ahok), dsb.

Kita harus menyadari bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini sudah mulai melek politik dibanding beberapa tahun silam yang cenderung sangat apatis pada politik. Tetapi kemelekan ini hendaknya ditujukan sebagai bentuk mekanisme kontrol atau check and balance terhadap pemerintah agar dapat senantiasa menjalankan tugasnya sesuai dengan amanat konstitusi. Jadi, objektivitas yang didukung argumentasi kritis dan kebijaksanaan harus tetap diutamakan dibandingkan “subjektivitas perasaan” yang berujung pada lahirnya ujaran kebencian di ruang publik.

Sungguh sebuah langkah mundur apabila saat ini kita masih saja membenturkan antara Islam dan nasionalisme, padahal persoalan ini sudah tuntas dibahas oleh para pendiri bangsa kita puluhan tahun silam yang melahirkan sebuah kearifan dan titik temu yang bernama Pancasila. Pancasila merupakan hasil ijtihad tokoh bangsa kita yang datang dari berbagai latar belakang identitas agama, etnis, ras, dan gender untuk menjembatani segala perbedaan yang terjadi di masa pra dan awal kemerdekaan.

Secara historis, nasionalisme di indonesia sesungguhnya banyak diinjeksi oleh nilai dan semangat keagamaan. Betapa banyak ulama di negeri ini yang rela mengorbankan jiwa dan raganya demi menentang kolonialisme yang telah merenggut dan mencabik-cabik nikmat kebebasan yang menjadi hak dasar setiap manusia. Berbeda dengan nasionalisme ala Barat yang cenderung menghilangkan peran agama, sehingga yang muncul adalah semangat kapitalisme yang berujung pada lahirnya praktik imperialisme dan kolonialisme yang mencekik kebebasan manusia.

Nilai dan semangat keislaman telah berhasil melahirkan nasionalisme yang egalitarian dan meruntuhkan struktur dan budaya feodal yang telah mengakar kuat di masyarakat yang memungkinkan awetnya imperialisme dan kolonialisme.

Tanpa perlu diperdebatkan, Pancasila dengan segala nilai yang terkandung di dalamnya mulai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan merupakan nilai-nilai universal seluruh agama. Seluruh Nabi utusan Tuhan pasti mewartakan ajaran dan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan kepada para umatnya. Dengan kata lain, para Nabi utusan Tuhan adalah “pewarta” Pancasila.

Soekarno sebagai salah satu perumus Pancasila pernah berkata kurang lebih bahwa kelima nilai Pancasila apabila diperas menjadi satu, maka ia melahirkan gotong royong. Gotong royong merupakan hasil pengejawantahan dari kearifan-kearifan lokal yang selama ini hidup dan bersemayam di Nusantara.

Di Bali, masyarakat mengenal kearifan yang berbunyi: tat twam asi yang kurang lebih berarti aku adalah engkau, engkau adalah aku, penderitaanku adalah penderitaanmu, penderitaanmu adalah penderitaanku. Di Jambi masyarakat mengenal kearifan yang berbunyi: lindung melindung bak daun sirih, tudung menudung bak daun labu, rajut merajut bak daun petai yang kurang lebih mengajarkan tentang pentingnya sikap saling melindungi, tudung-menudung, dan rajut-merajut menjadi kesatuan masyarakat yang saling menghargai dan melindungi.

Masyarakat Jawa Tengah mengenal kearifan rukun a gawe santoso, crah a gawe bubrah yang kurang lebih artinya bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Masyarakat Bugis-Makassar mengenal kearifan: sipakatau, sipakalebbi, sipakatokkong, sipakainge yang kurang lebih menekankan pentingnya sikap saling memanusiakan, saling menghormati, saling menopang, dan saling mengingatkan antar sesama manusia.

Gotong royong sendiri bila ditarik lebih jauh sesungguhnya senafas dengan prinsip dan ajaran Islam, yakni rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam). Karena itu, kita sudah tak perlu lagi mempertentangkan antara Islam dan nasionalisme.

Menjadi Islam sejati menghendaki adanya sikap cinta tanah air sebagaimana yang dikatakan KH. Hasyim Ashari “hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Menjadi Islam dan nasionalis sejati berarti mengerahkan seluruh potensi dan usaha kita untuk membangun tanah air demi kemaslahatan bersama. Ketika kemaslahatan bersama dapat tercapai maka yang paling diuntungkan adalah seluruh warga negara, tak terkecuali umat Islam itu sendiri yang jumlahnya mencapai 80 persen lebih.

Namun sebagai mayoritas, umat Islam tak boleh jumawa. Mereka harus senantiasa mengintrospeksi diri dan berusaha melakukan berbagai perubahan positif di tengah tuntutan zaman. Umat Islam juga harus senantiasa menjadi pengayom dan pelindung bagi siapapun sebagai bentuk artikulasi Islam yang rahmatan lil alamin.

Umat Islam memegang beban yang sangat berat. Masa depan bangsa dan negara ini ada di pundak umat Islam selaku mayoritas. Apabila negara ini menjadi negara gagal, maka yang paling pertama bertanggung jawab dan menanggung malu adalah umat Islam.

Karena itu, mari kita bergandeng tangan untuk membangun bangsa dan negara ini. Mari kita hentikan polarisasi yang selama ini kita buat sendiri. Islam dan nasionalisme adalah dua hal yang tak perlu dipertentangkan.

Jangan kita bermimpi untuk bersaing dengan negara lain kalau internal kita sendiri masih rapuh. Kalau kita rapuh, kita malah akan menjadi bulan-bulanan bangsa dan negara lain. Maukah kita mengikuti jejak Sudan, Libya, Irak, Suriah, dan Afghanistan?

*Dosen FUAD IAIN Manado

Leave a Reply